Jokowi Diminta Tak Berdiam Diri atas Pemecatan 56 Pegawai KPK
IDNBC.COM - Presiden Jokowi diminta untuk tidak berdiam diri atas rencana pemecatan 56 pegawai KPK. Jokowi dinilai masih bisa menyelesaikan polemik terkait Tes Wawasan Kebangsaan ini.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk segera turun tangan mengatasi permasalahan ini. Merujuk pada Undang-Undang KPK saat ini, posisi Presiden tak hanya kepala pemerintahan tetapi juga pimpinan tertinggi ASN. Sehingga bisa mengambil alih polemik alih status pegawai KPK menjadi ASN ini.
"Kami kembali mendesak Presiden Jokowi untuk menjalankan rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM dan memulihkan status pegawai KPK yang diperlakukan tidak adil dalam proses dan hasil akhir TWK," kata Usman dikutip dari situ Amnesty International Indonesia, Jumat (17/9).
Firli Bahuri dkk tetap berkukuh untuk memecat 56 pegawai KPK yang tak lulus TWK. Mereka berdalih hal itu sesuai aturan. Termasuk putusan MK dan MK terkait TWK.
Namun menurut Usman, vonis itu tak bisa menjadi dasar KPK untuk melakukan pemecatan. Sebab, putusan tersebut hanya menguji soal apakah TWK bertentangan dengan konstitusi, bukan terkait dengan evaluasi pelaksanaan TWK.
Selain itu, terdapat putusan MA yang dalam pertimbangannya menyebut bahwa tindak lanjut dari hasil Asesmen TWK merupakan kewenangan dari pemerintah.
"Putusan Mahkamah Agung tentang Peraturan KPK tentang TWK pun tidak masuk ke evaluasi pelaksanaan TWK dan menyebutkan bahwa tindak lanjut dari hasil asesmen TWK adalah kewenangan pemerintah," kata Usman.
"Pimpinan KPK tidak dapat menggunakan putusan-putusan (MA dan MK) tersebut untuk membenarkan tindakan mereka. Presiden pun tidak dapat berlindung di balik putusan tersebut sebagai alasan untuk berdiam diri," sambungnya.
Hal ini juga ditambah dengan adanya temuan dari Ombudsman dan Komnas HAM bahwa pelaksanaan TWK bermasalah.
"Meskipun Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pasal-pasal mengenai peralihan status pegawai KPK menjadi ASN dalam UU KPK tidak melanggar konstitusi, putusan tersebut tidak menafikan temuan-temuan pelanggaran dalam pelaksanaan peralihan status tersebut," ungkap Usman.
Komnas HAM menemukan 11 pelanggaran HAM yang terjadi dalam proses TWK. Termasuk di antaranya pelanggaran hak atas pekerjaan, informasi, keadilan dan kepastian hukum, untuk tidak didiskriminasi, dan beragama dan berkeyakinan.
Sedangkan Ombudsman menyatakan bahwa penyelenggaraan TWK malaadministrasi. Termasuk menyimpang secara prosedural, menyalahgunakan wewenang, serta mengabaikan pernyataan Presiden Jokowi untuk tidak menjadikan TWK sebagai alasan pemberhentian pegawai KPK.
"Keputusan ini mengabaikan rekomendasi dari Komnas HAM maupun Ombudsman RI dan juga menunjukkan ketidakpedulian pimpinan KPK terhadap hak asasi pegawai-pegawainya, terutama yang tidak lulus TWK," ucap Usman.
"Pengabaian terhadap rekomendasi Komnas HAM justru menunjukkan arogansi dan ketidakpedulian terhadap HAM," sambungnya.
Tak hanya itu, sikap acuh Firli Bahuri dkk atas nasib 56 pegawai yang tak lulus TWK juga dianggapnya tak menunjukkan kepedulian terhadap hak asasi pegawai KPK. Terutama yang tak lolos dalam tes tersebut.
"Pengabaian temuan lembaga negara independen diabaikan seperti menunjukkan arogansi pimpinan KPK dan ketidakmauan pemerintah untuk memperbaiki pelanggaran yang jelas-jelas terjadi," ungkap Usman.
Menurut Usman, putusan lembaga hukum seperti Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) pun dianggapnya tak bisa menjadi dasar KPK untuk melakukan pemecatan. Apalagi, dalam putusan tersebut tidak masuk dalam evaluasi pelaksanaan TWK dan tindak lanjut dari hasil Asesmen TWK mengingat itu merupakan kewenangan dari pemerintah.
"Meskipun Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pasal-pasal mengenai peralihan status pegawai KPK menjadi ASN dalam UU KPK tidak melanggar konstitusi, putusan tersebut tidak menafikan temuan-temuan pelanggaran dalam pelaksanaan peralihan status tersebut," ungkap Usman.
"Putusan Mahkamah Agung tentang Peraturan KPK tentang TWK pun tidak masuk ke evaluasi pelaksanaan TWK dan menyebutkan bahwa tindak lanjut dari hasil asesmen TWK adalah kewenangan pemerintah," lanjut dia.
Karenanya, ia berpendapat sudah seharusnya Presiden mengambil alih proses tersebut dengan mempertimbangkan seluruh temuan terkait TWK.
Ada 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK sebagai alih status pegawai menjadi ASN. Satu di antaranya sudah pensiun.
Terdapat 18 pegawai KPK yang kemudian bersedia dibina melalui diklat. Mereka dinyatakan lulus dan kini sudah dilantik menjadi ASN. Maka tersisa 56 pegawai KPK yang akan dipecat pada 30 September 2021.
Mereka yang termasuk daftar ini bukan pegawai sembarangan. Yakni mulai dari pejabat struktural hingga penyelidik dan penyidik top KPK yang sedang menangani kasus korupsi besar. Misalnya Giri Suprapdiono, Novel Baswedan, Yudi Purnomo, Harun Al Rasyid, dsb.
Sumber https://m.kumparan.com/amp/kumparannews/jokowi-diminta-tak-berdiam-diri-atas-pemecatan-56-pegawai-kpk-1wXxDVrPGGy