Iduladha Vs Piala Eropa dan Potret Ketimpangan

Redaksi


IDNBC.COM  -
Untuk menekan penyebaran Covid-19, Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan edaran resmi agar masyarakat melakukan salat Iduladha dari rumah. Meskipun menyedihkan, larangan itu tentunya harus dipatuhi oleh umat Islam.


Sesuai Surat Edaran Menteri Agama No. 17 Tahun 2021, wilayah yang berstatus PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat memang tidak diperkenankan untuk menggelar salat Iduladha di masjid-masjid atau ruang publik lainnya.

Edaran itu senada dengan fatwa MUI tahun lalu bahwa di tengah-tengah pandemi kita memang harus mendahulukan maslahat (jalb al-mashlahah) dan mencegah terjadinya mafsadat (daf'u al-mafsadah).

Kejadian ini tentunya menyedihkan buat kita. Sesudah tak bisa berhaji dan berumroh, kini kita juga bahkan tak bisa menggelar ibadah hari besar di kampung sendiri.

Ketimpangan ekonomi

Meskipun tak saling berhubungan, kegagalan kita untuk bisa beribadah di tengah-tengah pandemi, sangatlah kontras dengan pemandangan yang kita saksikan saat perhelatan Piala Eropa yang baru usai pekan lalu.

Puluhan ribu orang bisa memadati stadion Allianz Arena, Saint Petersburg, Olimpico Roma, Parken, atau Wembley, tanpa perlu jaga jarak atau menggunakan masker.

Kontras ini tentu saja tak menggambarkan bahwa Covid-19 hanyalah mitos, sebagaimana yang dipercaya oleh para penganut teori konspirasi, melainkan merupakan potret betapa ketimpangan, terutama dalam bidang ekonomi dan sains, memang sangatlah nyata.

Sebagai gambaran, negara-negara Uni Eropa bulan Juli ini diperkirakan sudah menyelesaikan vaksinasi bagi 70 persen warganya yang telah berusia dewasa.

Dengan capaian ini, Eropa berada di tempat ketiga dunia sesudah China (satu miliar dosis), dan Amerika Serikat (317 juta dosis) dalam melakukan vaksinasi kepada lebih dari separuh populasi.

Capaian itu tentu saja kontras dengan Indonesia. Menurut data Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, per 17 Juli 2021, baru 15,9 juta penduduk kita yang sudah menerima vaksinasi tahap kedua. Karena target vaksinasi yang ditetapkan Pemerintah adalah 208 juta penduduk, artinya capaian kita baru sampai di angka 7,6 persen.

Di sisi lain, laju vaksinasi di negeri kita juga tercatat sangat lambat. Meski beberapa kali pernah menembus angka satu juta dosis per hari, namun rata-rata laju vaksinasi kita kurang dari 700 ribu dosis per hari. Angka ini tentunya sangat jauh dari target Presiden Joko Widodo yang menginginkan vaksinasi bisa mencapai 2 juta dosis per hari.

Penonton sudah kembali ke stadion dan bisa menyaksikan Piala Eropa pekan lalu, tanpa menjaga jarak atau menggunakan masker. (Pool via Reuters/Matthew Childs)

Capaian vaksinasi yang rendah inilah yang menjelaskan kenapa di Inggris orang sudah bisa menonton Piala Eropa tanpa menggunakan masker, sementara kita untuk menggelar shalat Iduladha saja harus dilakukan di rumah masing-masing.

Kalau bicara vaksinasi, ketimpangannya memang jelas terlihat. Akhir Juni lalu pemerintah mengumumkan telah menerima 118,7 juta dosis vaksin Sinovac dan AstraZeneca.

Namun, jumlah ini jauh dari cukup untuk memvaksinasi 208 juta penduduk, atau 77 persen dari populasi. Sebagai perbandingan, Kanada memiliki 338 juta dosis vaksin, atau 5 kali dari jumlah populasi mereka. Inggris, memiliki jumlah vaksin 3,6 kali jumlah populasi, dan Amerika Serikat memiliki dosis vaksin 2 kali lipat jumlah populasinya.

Dengan tingkat ketersediaan vaksin yang rendah, serta laju vaksinasi yang juga lambat, tanpa langkah luar biasa, kita dipastikan akan kesulitan untuk menghadapi gelombang ketiga Covid-19 yang sudah di ambang mata.

Saat ini dunia memang tengah berjuang menghadapi babak baru pandemi. Seperti yang diumumkan WHO, kita sedang menghadapi tahap awal gelombang ketiga Covid-19, ketika virus ini terus berevolusi menjadi varian yang lebih menular. Varian Delta, yang belum lama ini membuat kolaps India, kini telah tersebar di 111 negara, termasuk Indonesia.

Ketimpangan sains

Dalam Technology and Innovation Report 2021, UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) melaporkan bahwa pandemi telah membuat jurang ketidaksetaraan antara negara yang menguasai dan tidak menguasai teknologi menjadi kian lebar.

Negara-negara yang tidak menguasai bioteknologi, misalnya, pastilah tertinggal dalam pengembangan vaksin Covid-19, yang pada akhirnya akan membuat proses pemulihan dampak pandemi menjadi kian tertinggal. Sejumlah riset juga memperkirakan bahwa hanya negara-negara inovatif saja yang akan bisa membebaskan diri dari pandemi dan seluruh dampaknya.

Itu sebabnya, di tengah-tengah pandemi yang bikin murung ini, kita tidak boleh mengabaikan pentingnya riset dan inovasi, terutama pada topik-topik yang bisa mengeluarkan kita dari pandemi dan seluruh dampaknya. Meskipun riset dan inovasi memang membutuhkan modal yang tak sedikit, namun kemampuan finansial bukanlah faktor utama bagi inovasi.

Sebagai contoh, meskipun dari sisi finansial pembiayaan riset China menempati urutan pertama di dunia, namun dalam Indeks Kesiapan Teknologi Masa Depan (Frontier Technologies) 2020, secara keseluruhan China hanya menempati urusan ke-15.

Di sisi lain, meskipun Jerman dari sisi financial ranking-nya hanya berada di urutan ke-39, namun peringkat Indeks Kesiapan Teknologi Masa Depan-nya ternyata bisa berada di peringkat ke-9.

Sebagai catatan, Teknologi Masa Depan (Frontier Technologies) adalah teknologi-teknologi yang potensial dan memberi peluang skala besar untuk mengatasi tantangan-tantangan masa depan. Tergolong dalam frontier technology adalah Artificial Intelligence (AI), Internet of Things, Big Data, Blockchain, 5G, 3D printing, robotika, drone, gene editing, dan nanoteknologi.

Artinya, untuk keluar dari jurang kemiskinan inovasi, modal finansial seharusnya tidak terus-menerus dijadikan kendala. Kita ingat, di tengah berbagai keterbatasan yang dimiliki Indonesia, dulu B.J. Habibie ternyata bisa membangun berbagai lembaga riset dan teknologi, termasuk Lembaga Eijkman, yang reputasinya diakui dunia.

Memang, cikal bakal lembaga ini sudah ada sejak lama. Lembaga ini telah berdiri sejak 1888 sebagai laboratorium penelitian untuk patologi dan bakteriologi. Direktur pertama laboratorium ini adalah Christiaan Eijkman, yang pada 1929 mendapat Hadiah Nobel atas penelitiannya mengenai hubungan penyakit beri-beri dengan kekurang vitamin B1. Namun, lembaga yang dirintis Eijkman ini ditutup pada 1966, saat kita mengalami krisis politik dan ekonomi yang hebat.

Pada awal dekade 1990-an, lembaga ini dihidupkan kembali atas inisiatif B.J. Habibie, yang ketika itu menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala BPPT.

Ia memanggil pulang Profesor Sangkot Marzuki, yang saat itu sedang bekerja sebagai Kepala Laboratorium Biologi Molekuler di Monash University, Australia. Lembaga Eijkman kembali berdiri sejak Juli 1992, namun baru diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 19 September 1995.

Adanya institusi riset seperti Lembaga Eijkman ini, yang kemudian tumbuh menjadi salah satu pusat riset kedokteran tropis terkemuka di dunia, telah memperkecil kesenjangan pengetahuan kesehatan antara kita dengan negara-negara maju.

Mengutip 'Global Research Collaboration for Infectious Disease Preparedness' (GloPID-R), mengatasi kesenjangan pengetahuan sangatlah penting untuk mengakhiri pandemi Covid-19. Pandemi ini hanya biasa diatasi oleh kerja kolektif dan kolaboratif, terutama dalam bidang riset kesehatan. Jika ada satu negara yang tidak aman, maka seluruh dunia juga akan terancam.

Manhaj tarjih iptek

Seandainya tidak ada jurang ketimpangan ekonomi dan sains di dunia, tentu kita bisa menggelar shalat Iduladha di lapangan seperti biasanya pada tahun ini. Namun, ketimpangan ekonomi dan sains yang begitu dalam, selain tentu faktor manajemen pemerintahan kita yang kedodoran, telah memaksa kita untuk merayakan Iduladha di rumah saja.

Bagi umat Islam, keterbatasan untuk melakukan sejumlah ibadah akibat adanya pandemi ini seharusnya dijadikan tantangan untuk terlibat dalam penguasaan riset dan inovasi di bidang kesehatan serta teknologi kedokteran.

Sebab, sulit untuk dimungkiri, bahwa absennya ibadah haji dua tahun berturut-turut bagi jamaah haji non-Arab Saudi adalah karena kelemahan umat dalam penguasaan sains dan teknologi kesehatan itu sendiri. Padahal, di sisi lain, perhelatan olah raga seperti Piala Eropa, yang melibatkan ratusan ribu penonton di berbagai negara, bisa dilakukan tanpa pembatasan.

Sampai di sini, saya teringat kembali pada konsep 'manhaj tarjih' yang dimiliki oleh Muhammadiyah.

Dalam melakukan kajian serta penafsiran ajaran agama, tentu ada prinsip dan metode yang dipegangi. Di lingkungan organisasi Muhammadiyah, prinsip itu disebut sebagai manhaj tarjih. Secara etimologis, "manhaj" artinya metode, sementara "tarjih" artinya kegiatan ijtihad dalam Muhammadiyah.

Meskipun berasal dari disiplin ilmu ushul fikih, namun dalam organisasi Muhammadiyah tarjih kemudian diartikan sebagai setiap aktivitas intelektual untuk merespons permasalahan sosial dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam. Jadi, makna tarjih kemudian sama, atau hampir sama, dengan melakukan ijtihad itu sendiri.

Dalam konteks keagamaan, selain telah memberikan tantangan serius bagi para ahli dalam bidang riset dan inovasi kesehatan, sulit untuk disangkal kalau pandemi Covid-19 juga telah memberikan tantangan yang sama kepada para ahli fikih dan keagamaan.

Tantangan ini bukan hanya terbatas dalam soal praktik peribadatan, melainkan juga pada dimensi kehidupan secara luas. Sebab, bagaimanapun pandemi ini telah memberikan ancaman yang serius terhadap masa depan kemanusiaan. Sehingga, tak salah jika kita juga berharap agama turut terlibat dalam memecahkan persoalan ini.

Shalat Idul Adha yang kita rayakan dari rumah tahun ini adalah panggilan serius untuk memikirkan kembali semua itu.

Sumber https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210720085219-21-669830/iduladha-vs-piala-eropa-dan-potret-ketimpangan/amp

Comments