Banjir Kecaman Pesawat Kepresidenan

Redaksi


IDNBC.COM  -
Pengecatan ulang pesawat kepresidenan Boeing 737 BBJ-2 menjadi polemik di tengah krisis pandemi COVID-19. Pasalnya, kegiatan itu membutuhkan biaya besar, sampai miliaran rupiah.


Pengamat penerbangan Alvin Lie adalah salah satu yang mengecam keputusan pemerintah dalam hal tersebut. Alvin mengatakan tidak sepantasnya pemerintah membuang biaya besar hanya untuk mengecat ulang pesawat.

Timing-nya ini tidak tepat,” kata Alvin kepada detikX pekan lalu. “Pandemi ini krisisnya multidimensional. Dampaknya ke ekonomi dan sosial.”

Eks komisioner Ombudsman RI ini menuturkan pesawat kepresidenan bukan hanya BBJ-2, tapi juga ada BAE-146. Pesawat BAE-146 sudah dicat pada 2020 awal. Tidak hanya itu, pada 2019, Alvin melanjutkan, helikopter Super Puma pun dicat. Waktu itu tidak ada yang mempermasalahkan karena Indonesia tidak dalam kondisi krisis.

Jadi antara nasionalisme dan sekuriti, keamanan, jauh lebih utama keamanan. Nasionalisme cukup dikasih bendera Merah-Putih. Dan itu tidak perlu bendera Merah-Putih yang besar-besar. Cukup di pintu keluar pesawat ada Merah-Putihnya.”

Alvin mengaku tidak menyangka BBJ-2 akan mengalami pengecatan ulang. Dia mengklaim memang mengetahui pengecatan itu direncanakan sejak 2019. Namun seharusnya rencana itu tidak direalisasi tahun ini. Dia juga menegaskan, secara estetika, memang tidak masalah, tetapi pemerintah tidak punya urgensi untuk melakukan pengecatan BBJ-2 tahun ini.

“Ini, kan, ironis. Tahun lalu saja Menteri Keuangan melakukan refocusing. Semuanya disisir. Yang nggak mendesak tidak usah,” kata dia. “Kalaupun memang dianggarkan, kan, bisa tidak dibelanjakan.”

Biaya pengecatan pesawat umumnya membutuhkan biaya di kisaran USD 100-150 ribu atau Rp 1,4-2,1 miliar. Alvin menjelaskan biaya itu dibayarkan maskapai penerbangan kepada perusahaan perawatan pesawat yang melakukan pengecatan. Namun tidak jelas berapa biaya yang dibayarkan pemerintah untuk melakukan pengecatan tersebut. “Nah, berapa yang dibayarkan Sekretariat Negara? Harus transparan. Itu pakai duit rakyat,” kata dia.

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Mardani Ali Sera menilai perawatan rutin pesawat kepresidenan merupakan keharusan. Namun pengecatan ulang pesawat tersebut pada saat ini bukanlah sesuatu yang mendesak. Kecuali jika cat pesawat sudah dalam keadaan kusam. “Rata-rata pengecatan pesawat itu 10 tahun sekali,” kata Mardani kepada detikX pekan lalu.

Warna merah pada tampilan baru tunggangan Presiden ditujukan untuk mempertegas ideologi nasionalisme. Namun, bagi Mardani, warna merah untuk pesawat kepresidenan itu justru berbahaya. Sebab, warna tersebut sangat kentara. Untuk menunjukkan nasionalisme, cukup diberi bendera Merah-Putih pada badan pesawat.

“Jadi antara nasionalisme dan sekuriti, keamanan, jauh lebih utama keamanan. Nasionalisme cukup dikasih bendera Merah-Putih. Dan itu tidak perlu bendera Merah-Putih yang besar-besar. Cukup di pintu keluar pesawat ada Merah-Putihnya,” ucap Mardani.

Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Gurnadi Ridwan berpandangan, sebenarnya uang Rp 2,1 miliar untuk pengecatan pesawat itu bukan biaya yang besar bagi APBN. Namun yang jadi masalah adalah sensitivitas dan transparansi pemerintah. Bukan hanya tidak urgen, menurut Gurnadi, pemerintah tidak cukup terbuka dalam pengelolaan anggaran belanja.

“Cat pesawat itu bisa lolos di eksekutif maupun legislatif ini menunjukkan bahwasanya problem yang lebih utama keterbukaan data terhadap informasi anggaran masyarakat,” kata dia. “Jadi, kalau ditanya soal pemborosan, Rp 1 miliar atau Rp 2 miliar itu kecil sebetulnya. Hanya, data detailnya tuh nggak ada, sehingga masyarakat sulit melakukan pemantauan.”

Pemerintah merespons banyaknya kecaman terkait pengecatan ulang pesawat kepresidenan. Melalui Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono, pemerintah menjelaskan pengecatan pesawat itu berkaitan dengan HUT ke-75 RI. Heru mengklaim pengecatan pesawat Boeing 737 BBJ-2 itu adalah satu paket dengan helikopter dan pesawat lainnya.

“Proses pengecatan sendiri merupakan pekerjaan satu paket dengan heli Super Puma dan pesawat RJ,” kata Heru.

Dia menjelaskan, pada 2019, pesawat BBJ-2 belum memasuki jadwal perawatan rutin sehingga pengecatan terlebih dahulu dilakukan untuk heli Super Puma dan pesawat RJ. Heru juga membantah anggapan bahwa pengecatan pesawat itu adalah bentuk foya-foya di tengah krisis. Dalihnya, kegiatan tersebut sudah direncanakan dua tahun lalu.

“Perawatan rutin pesawat BBJ-2 jatuh pada tahun 2021, merupakan perawatan check C sesuai rekomendasi pabrik. Maka tahun ini dilaksanakan perawatan sekaligus pengecatan yang bernuansa merah putih sebagaimana telah direncanakan sebelumnya. Waktunya pun lebih efisien, karena dilakukan bersamaan dengan proses perawatan,” ujar Heru.

Adapun alokasi anggaran untuk pengecatan pesawat kepresidenan tersebut, Heru mengklaim, sudah dialokasikan di APBN. Pemerintah dianggapnya tetap melakukan refocusing anggaran. “Sebagai upaya untuk pendanaan penanganan COVID, Kementerian Sekretariat Negara juga telah melakukan refocusing anggaran pada APBN 2020 dan APBN 2021, sesuai dengan alokasi yang ditetapkan Menteri Keuangan,” ujar Heru.

“Proses perawatan dan pengecatan dilakukan di dalam negeri sehingga, secara tidak langsung, mendukung industri penerbangan dalam negeri, yang terdampak pandemi.”

Garuda Maintenance Facilities (GMF) selaku pihak yang melakukan perawatan pesawat kepresidenan BBJ-2 juga mengatakan jadwal perawatan pesawat BBJ-2 jatuh pada 2021 ini dengan ruang lingkup pekerjaan paket perawatan besar dengan target pengerjaan selama lebih dari 30 hari.

Untuk prosedur pengecatan, GMF menerima usulan desain repainting dari pemerintah untuk selanjutnya dilakukan implementasi dalam struktur engineering/design of approval (DoA) oleh tenaga ahli GMF. Hal itu juga telah sesuai dengan instruksi yang tertuang dalam manual manufaktur.

“Setelah desain serta struktur engineering disetujui, dilakukan painting dengan beberapa tahapan, seperti preparation & masking, removal old paint by mechanical sanding, cleaning, primer, basecoat, clearcoat, removal masking,” kata Rian Fajar Isnaeni, VP Corporate Secretary & Legal GMF, kepada detikX pekan lalu.

Pekerjaan pengecatan dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku dengan mengacu pada aturan dari regulator serta manufaktur. “GMF senantiasa patuh terhadap standar kualitas perawatan pesawat untuk menghadirkan keamanan dan kenyamanan selama penerbangan,” lanjut Rian. Sayangnya, Rian tidak menanggapi ketika ditanya tentang biaya pengecatan ulang pesawat kepresidenan.

Sumber https://news.detik.com/x/detail/investigasi/20210809/Banjir-Kecaman-Pesawat-Kepresidenan/

Comments