Merdeka Belajar: Strategi Dunia Pendidikan Indonesia Merespons Perubahan

Redaksi


IDNBC.COM -
TANGGAL 2 Mei, yang juga hari kelahiran Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Di momen ini kita perlu merefleksikan perjalanan dunia pendidikan kita karena sektor ini merupakan faktor kunci yang memegang peran penting dalam kemajuan suatu bangsa.


Namun, sayangnya kualitas pendidikan kita masih cukup memperihatinkan, data Program for International Student Assessment (2018) yang diinisiasi oleh The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia di lingkup global berada dalam peringkat 6 terbawah dari 79 negara.

Dalam kategori membaca Indonesia berada pada peringkat 74 (skor 371), peringkat 73 (skor 379) untuk kategori matematika, dan peringkat 71 (396) untuk kategori sains (BBCNews 04/12/2019), mirisnya lagi peringkat ini cenderung stagnan dalam 10-15 tahun terakhir.

Sejumlah pengamat menilai bahwa terdapat sejumlah permasalahan besar dalam sektor pendidikan kita mulai dari kualitas pengajar yang masih rendah, sistem pengajaran yang feodalistik, hingga kualitas lembaga pendidikan guru yang perlu banyak pembenahan.

Belum lagi dampak pandemi Covid-19 yang secara potensial menyebabkan hampir jutaan anak Indonesia putus sekolah permanen karena faktor ekonomi yang memburuk.

Hal ini tentunya akan menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar bagi pemerintah untuk memperbaiki banyak hal di sektor pendidikan mulai dari kebijakan, kualitas SDM pengajar, kurikulum, pendidikan karakter, hingga kultur dalam kegiatan belajar mengajar.

Seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu pembenahan di sektor pendidikan harus dilakukan dari sekarang.

Permasalahan klasik 

Terdapat permasalahan klasik dalam dunia pendidikan kita. Dikutip dari Kompas.com (03/05/2020), pengamat pendidikan Mohammad Abduhzen menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi bersifat terlalu kaku, birokratis, dan hanya terpaku pada standar-standar dan pemenuhan kurikulum semata.

Hal ini menyebabkan terbebaninya siswa dengan kultur pendidikan yang feodalistik dan standarisasi akademik yang kurang mengeksplorasi potensi mereka sehingga kebanyakan lulusan kita tidak mampu bersaing secara kompetitif di dunia kerja.

Konsultan pendidikan dan karier, Ina Liem juga menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia belum berjalan ke arah yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari segi infrastruktur sekolah di berbagai wilayah yang masih belum memadai dan terjadinya kesenjangan dalam mengakses pendidikan di beberapa wilayah Indonesia.

Sementara dari sisi pengajar, kompetensi guru di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Mereka juga selama ini banyak terbebani dengan pekerjaan administratif yang menghambat kreativitasnya untuk mengembangkan kepakaran dan pengajaran yang berkualitas.

Belum lagi berbagai pemberitaan media terkait kasus-kasus perundungan (bullying), kekerasan seksual, hingga intoleransi yang terjadi di sekolah berpotensi mencitrakan sekolah sebagai ruang publik yang kurang bahkan cenderung tidak aman bagi siswa.

Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan berbagai strategi baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita hingga memberantas segala permasalahan sosial yang terjadi di lingkungan sekolah.

Pendidikan harus memerdekakan manusia

Selain berperan sebagai tolak ukur kemajuan suatu bangsa, pendidikan memiliki peran penting di berbagai aspek kehidupan manusia karena semakin baik mutu kualitas pendidikan, semakin baik pula kualitas suatu bangsa.

Oleh karena itu, kita perlu menilik pengalaman bangsa di masa lalu dalam membangun sektor pendidikan untuk mengupayakan sekaligus menciptakan pendidikan yang baik bagi generasi kita di masa yang akan datang.

Sejarah mencatat bahwa sistem pendidikan di Indonesia sudah berjalan sejak masa kolonial Belanda, Jepang, hingga kemerdekaan. Ki Hajar Dewantara adalah salah satu tokoh yang memiliki kepedulian tinggi akan pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa.

Dalam pemikirannya, pendidikan sejatinya harus memerdekakan manusia karena ia percaya bahwa setiap peserta didik memiliki kemampuan dan keunikan masing-masing sehingga model pengajaran haruslah bersifat student-centered dengan memberikan hak kepada peserta didik untuk menggali dan mengembangkan potensi yang mereka miliki.

Slogannya yang berbunyi Tut Wuri Handayani bukan hanya menempatkan pengajar sebagai pemberi dorongan dan motivasi kepada siswa untuk belajar pengetahuan dari guru saja, tetapi juga mengarahkan siswa untuk mencari pengetahuan lain secara mandiri.

Ki Hajar Dewantara juga menekankan pentingnya budi pekerti, karakter yang berbudaya dan humanis. Ia juga mengatakan bahwa pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh individu harus memiliki manfaat bagi diri sendiri, masyarakat, dan bangsa.

Kompetensi utama merespons perubahan zaman

Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia tidak terlepas dari perubahan dan saat ini kita berada di era Revolusi Industri 4.0 dan 5.0 yang ditandai dengan internet-based, digitalisasi di banyak aspek kehidupan, ketersalinghubungan (interconnectedness), serta artificial intelligence.

Fakta ini sekaligus menjadi alarm bagi pemerintah dan lembaga pendidikan untuk berinovasi dalam rangka merespons perubahan zaman yang bisa terjadi kapan saja dan mencetak sumber daya manusia yang siap berkompetisi baik di tingkat nasional maupun global.

Mendikbud-Ristek RI, Nadiem Makarim menyebutkan beberapa kompetensi utama yang harus dimiliki oleh pegajar dan peserta didik kita di era sekarang antara lain kemampuan berpikir kritis (critical thinking), kreativitas (creativity), kolaborasi (collaboration), perasan (compassion), komunikasi (communication), dan logika komputational (computation logic).

Oleh karena itu, sudah saatnya kita meninggalkan kultur pendidikan yang menekan kemerdekaan siswa dan menciptakan sekolah sebagai ruang aman bagi siswa untuk mengembangkan potensi, kreativitas, serta keunikan mereka.

Selain itu, guru juga harus melakukan inovasi mental dengan memosisikan diri sebagai mentor (coach) yang secara partisipatif berperan untuk mengasah kemampuan bernalar siswa supaya mereka terbiasa menghadapi, menganalis, serta memecahkan suatu persoalan hingga menciptakan bentuk pengetahuan yang baru.

Pandemi Covid 19 juga telah mengajarkan kita bahwa kemampuan adaptif, kreativitas, dan belajar (willing to learn) merupakan basic skills yang harus dimiliki individu untuk siap menghadapi situasi sesulit apapun yang bisa terjadi kapan saja.

Pentingnya pndidikan karakter

Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya pendidikan karakter berlandaskan ideologi negara Pancasila, karena masa depan suatu bangsa tidak serta merta bergantung pada kompetensi kolektif (collective competency), tetapi juga karakter kolektif (collective character).

Dengan kata lain, kompetensi akademik tanpa empati, kemanusiaan, moralitas, rasa cinta terhadap sesama, serta spiritualitas ini akan sia-sia karena sejatinya tujuan pendidikan adalah memberikan manfaat postif untuk sesama manusia.

Kutipan menarik dari Tan Malaka perlu kita refleksikan kembali: “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasaan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.”

Selain itu, Helen Keller mengatakan bahwa pencapaian tertinggi dari pendidikan adalah toleransi. Dalam konteks Indonesia yang multikultur siswa kita seharusnya bukan hanya sekadar belajar tentang toleransi terhadap perbedaan, tetapi juga belajar mencintai perbedaan.

Sumber https://www.kompas.com/edu/read/2021/05/02/063543671/merdeka-belajar-strategi-dunia-pendidikan-indonesia-merespons-perubahan

Comments