Harga Tembaga Pecah Rekor, RI Seharusnya Jadi Kaya Raya Lho

Redaksi


IDNBC.COM -
Harga tembaga selama dua bulan terakhir ini terus menunjukkan peningkatan. Bahkan, pada awal Mei, tepatnya 6 Mei 2021, harga tembaga di London Metal Exchange (LME) menembus level US$ 10.000 per metrik ton (MT), tepatnya US$ 10.025 per MT dan terus naik, bahkan pada 13 Mei pekan lalu sempat menyentuh US$ 10.253,5 per MT, meski pada 14 Mei harus turun ke level US$ 10.212 per MT.

Bahkan, harga tembaga ini digadang-gadang berpotensi bisa menyentuh US$ 20.000 per MT di 2025, berdasarkan analisis Bank of America (BofA), seperti dilansir dari CNBC International.

Kenaikan harga tembaga ini bisa mendatangkan keuntungan bagi Indonesia sebagai produsen dan pengekspor tembaga.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan produksi katoda tembaga pada tahun ini sebesar 291.000 ton dan penjualan 296.000 ton. Bila harga jual rata-rata tembaga mencapai US$ 10.000 per ton, maka artinya Indonesia bisa mendapatkan penghasilan US$ 2,96 miliar atau sekitar Rp 41,4 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per US$) dari penjualan katoda tembaga.

Itu pun baru hasil penjualan logam atau katoda tembaga, belum termasuk konsentrat tembaga yang masih diekspor PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara. PT Freeport Indonesia, produsen tembaga terbesar RI, tahun ini menargetkan produksi konsentrat tembaga mencapai 1,4 miliar pon, meningkat dari produksi di 2020 yang sebesar 800 juta pon. 

Adapun katoda tembaga ini diproduksi oleh PT Smelting, yang mengoperasikan smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur. PT Smelting ini dimiliki oleh Mitsubishi Materials Corporation (MMC) dan PT Freeport Indonesia. Smelter ini mengolah 1 juta metrik ton konsentrat tembaga per tahun menjadi katoda tembaga sekitar 300 ribu ton per tahun. Smelter ini mengolah 40% dari produksi konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia.

Dengan meningkatnya harga tembaga, maka ini diperkirakan juga akan berdampak bagi penerimaan negara, karena terkait adanya royalti, pajak penghasilan perusahaan, maupun dividen seperti Freeport yang kini sebagian besar sahamnya yakni 51% dimiliki Indonesia melalui Holding BUMN Tambang, MIND ID.

Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM, pada Senin (17/05/2021) produksi tembaga nasional pada kuartal I 2021 baru mencapai 2.486,6 ton atau baru 0,85% dari target tahun.

Rincian produksinya yakni Januari 699,50 ton, Februari 728,70 ton, dan Maret 1.058,40 ton. Namun, data realisasi produksi ini masih bisa berubah seiring dengan diperbaruinya data produksi dari masing-masing produsen tembaga.

Dibandingkan dengan kuartal I 2020, produksi katoda tembaga mencapai 70.113,91 ton. Secara rinci, produksi pada kuartal I 2020 antara lain Januari sebesar 24.236,78 ton, Februari sebesar 20.881,95 ton, dan bulan Maret sebesar 24.995,18 ton.

Juru Bicara PT Freeport Indonesia (PTFI) Riza Pratama mengatakan, perusahaan pada tahun ini memang menargetkan peningkatan produksi konsentrat tembaga dibandingkan tahun lalu. Namun, peningkatan target produksi ini menurutnya lebih karena fase meningkatnya operasional tambang bawah tanah.

"Produksi kami tahun ini targetnya lebih besar dari tahun lalu karena kami ramp up operasi tambang bawah tanah," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Senin (17/05/2021).

Freeport menargetkan produksi tembaga sekitar 1,4 miliar pon pada tahun ini, lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada 2020 yang hanya 800 juta pon.

Berdasarkan data Freeport McMoran, produksi bijih tembaga PT Freeport Indonesia dari Grasberg Block Cave dan tambang bawah tanah Deep Mill Level Zone (DMLZ) diperkirakan mencapai 98.5000 metrik ton bijih per hari.

"Pada tahun ini produksi tembaga ditargetkan mencapai 1,4 miliar pon," ujarnya.

Meningkatnya produksi tembaga dan emas pada tahun ini menurutnya akan berdampak pada penerimaan negara, terutama dari sisi dividen yang akan dibagikan.

"Tentunya dividen yang dibayarkan kepada pemerintah akan lebih besar," imbuhnya.

Sementara dari sisi kenaikan harga, menurutnya harga mineral selalu mengalami siklus (cycle) dan saat ini tengah menghadapi super cycle (super siklus).

Khusus untuk komoditas tembaga, menurutnya banyak produsen yang berhenti berproduksi, karena pandemi Covid-19. Sementara permintaan terus naik seiring dengan kebutuhan untuk kendaraan listrik.

"Demand tembaga terus naik seiring peningkatan produksi kendaraan listrik dan renewable power plants yang menggunakan tembaga 4-5 kali lipat dibanding kendaraan dan pembangkit konvensional," ungkapnya.

Sumber https://www.cnbcindonesia.com/news/20210517182242-4-246097/harga-tembaga-pecah-rekor-ri-seharusnya-jadi-kaya-raya-lho


Comments