Ironi Limbah Medis di Tengah Pandemi

Redaksi


IDNBC.COM
- Pandemi COVID-19 saat ini tak hanya membuat masyarakat berperang melawan virus corona. Imbas pandemi, limbah medis yang dihasilkan dunia, khususnya Indonesia, semakin menumpuk dan berpotensi menjadi ancaman selanjutnya. 


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, sejak awal pandemi dilaporkan pada Maret 2020, Indonesia sudah menghasilkan 7.500 ton limbah medis.

Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Non B3 KLHK, Sinta Saptarina, mengaku sekitar 71,5 ton limbah medis per harinya bisa dimusnahkan. Berbagai perusahaan sudah menambah sejumlah insinerator (alat pembakaran dengan suhu yang sangat tinggi), meski masih terpusat di Pulau Jawa.

"[Alatnya bisa] 12 jam bekerja, kapasitasnya bisa 300 ribu ton per hari," urai Sinta.

"Namun memang sayangnya di Jawa lagi, belum tersebar di Indonesia. Ada 2 di Kaltim, 1 di Kepri di masa pandemi, di Sulsel KLHK bangun project, dikelola Pemda," imbuhnya.

Adapun, data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, jumlah limbah khusus alat pelindung diri (APD), khususnya masker, tercatat sebanyak 1.662,75 ton. Data ini diambil terhitung 6 bulan pertama pandemi corona sejak Maret-September 2020.

Lantas, berapa banyak penambahan jumlah sampah APD ini selama masa pandemi?

"APD ini semakin banyak karena tergantung dengan yang kita pakai sehari-hari, mulai masker, face shield, sarung tangan dan lain-lain. Peningkatannya terutama di muara sungai, terjadi peningkatan --sebenarnya enggak terlalu banyak, sekitar 16 persen," ucap Peneliti Muda LIPI Bidang Lingkungan, Reza Cordova, dalam program Live Corona Update bersama kumparan.

Yang menjadi sorotan adalah sampah-sampah APD meningkat tajam selama pandemi.

"Untuk sampah APD sendiri, sebelum 2016 itu sama sekali enggak ditemukan, sekarang meningkat hingga 16 persen. Sebelumnya 0 jadi 16 persen. Di sisi lain, yang paling mendominasi sekarang sampah masker, hampir 10 persen jumlahnya yang ada di lingkungan, terutama di sungai," tutur dia.

Reza mengakui, sampah APD dari rumah tangga cukup mendominasi di lingkungan. Pengelolaan antara limbah medis dan sampah APD dari rumah sakit maupun rumah tangga pun berbeda.

Untuk limbah medis dari rumah sakit, setiap faskes diminta menyediakan alat pengelolaan sendiri berupa insinerator. Sedangkan sampah APD dari rumah tangga bisa dilakukan pemilahan sendiri.

Pemerintah juga menegaskan limbah medis COVID-19 dari fasilitas pelayanan kesehatan tidak boleh dibuang di tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah rumah tangga. Sampah medis yang dihasilkan oleh rumah sakit dan fasyankes harus dikelola dengan cara dimusnahkan di insinerator berizin milik rumah sakit. Lalu, diserahkan kepada pihak jasa pengelolaan limbah B3 yang sudah memiliki izin dari KLHK.

Reza kemudian membeberkan sejumlah aturan pengelolaan sampah APD yang dapat dilakukan di rumah sendiri.

"Pertama yang harus dilakukan, kita memisahkan antara sampah APD dan tidak boleh dicampur sampah umum. Kemudian, sampah ini seharusnya diberikan ke dinas lingkungan daerah masing-masing, karena kita tidak bisa menyerahkan begitu saja," jelas Reza.

"Karena kita tidak tahu apakah limbah APD tersebut mengandung bakteri patogen atau virus patogen. Atau katakan virus Sars-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19, kita masih belum tahu, yang jelas harus dipisahkan," ungkapnya.

Mencemari lautan

LIPI menemukan sampah-sampah APD sudah banyak bertebaran di muara sungai hingga lautan Indonesia. Bahkan, jumlahnya sangat mencolok jika dibandingkan dengan sebelum pandemi COVID-19.

"Jelas tekanan lingkungan akan makin meningkat. Kenapa? Karena Indonesia diconsider secara global sebagai penghasil sampah plastik terbesar kedua dunia ke laut," tutur Reza.

Temuan LIPI soal kebocoran sampah medis di lautan dan sungai ini sudah sudah dilaporkan kepada pemerintah. Termasuk riset kemungkinan ada virus atau bakteri patogen pada sampah-sampah medis yang bocor.

"Kami baru infokan kebocoran limbah APD masuk ke laut Indoensia baru tahun kemarin, walau sebetulnya sudah kami informasikan pada hasil penelitian kami terutama dari laporannya. Pelan tapi pasti, karena saat ini anggaran terbagi untuk banyak hal, khususnya penanganan COVID sendiri," jelas dia.

Sebagian besar limbah medis dan sampah APD yang bocor ini terbuat dari plastik. Maka dari itu, semakin banyak plastik yang beredar di lingkungannya, maka makin besar juga potensi meningkatnya mikroplastik (komponen plastik berukuran kecil yang dapat mencemari lingkungan) di lautan.

"Yang jadi masalah, limbah APD terutama, itu relatif lebih mudah hancur dibandingkan sampah plastik biasa karena didesain seperti itu. Ini yang jadi masalah, bisa jadi sumber mikroplastik," ucap Reza.

"Ketika mikroplastik ini semakin banyak, tekanan lingkungan akan makin tinggi juga. Kemungkinan plastik masuk tubuh juga akan semakin tinggi," imbuh dia.

Dropbox Pemilahan Sampah

Solusi terdekat, Kepala Pusat Penelitian Loka Teknologi Bersih Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ajeng Arum Sari, meminta pemerintah daerah untuk dapat menyediakan dropbox. Dropbox tersebut untuk memudahkan proses pemilahan sampah limbah medis COVID-19.

"KLHK sudah mengeluarkan surat edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pengelolaan limbah infeksius ini. Di surat tersebut disebutkan bahwa untuk mengolah limbah medis yang bersumber dari rumah tangga, pemerintah daerah diminta berpartisipasi dalam menyediakan sarana dan prasarana seperti Dropbox untuk meletakkan limbah masker," ujar Ajeng.

"Kita tahu kalau ada pihak yang tidak bertanggung jawab dengan melakukan pembuangan limbah medis ilegal di Kabupaten Bogor, di mana limbah itu berisi alat pelindung diri seperti baju hazmat, masker, infus bekas bungkus obat dan alat suntik," ungkap Ajeng.

Bagaimana membuang masker bekas yang benar?

LIPI menyarankan masyarakat memulai sendiri pemilahan sampah plastik sebelum akhirnya dibuang. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memotong masker kecil-kecil untuk menghindari penyalahgunaan oleh oknum tertentu.

Juga, tidak boleh mencampur sampah masker dengan sampah lainnya, sehingga virus yang menempel tidak menulari orang lain.

"Kemudian pada saat kita membuang, kalau tidak ada [dropbox], sebelum dipisah harus dipotong dulu maskernya. Mulai dari talinya, isinya kita potong sehingga tidak bisa digunakan lagi oknum tidak bertanggung jawab," jelas Peneliti Muda LIPI Bidang Lingkungan, Reza Cordova.

Di sisi lain, untuk mengurangi sampah masker di lingkungan sekitar, ia menyarankan agar masyarakat menggunakan masker kain. Sebab, masker kain bisa dicuci dan dipakai berulang-ulang dan tidak mencemari lingkungan.

"Tetap perhatikan di dalamnya, ya, minimal pakai 2-3 lapis lebih bagus. Kemudian bisa digunakan, disediakan di rumah, dicuci, tidak perlu susah-susah kita rendam aja tidak lama 5-10 menit, keringkan, bisa kita pakai ulang," kata dia.

"Jauh lebih baik dibandingkan pakai masker bedah sekali dipakai lalu dibuang. Sebab, akan meningkatkan tekanan lingkungan karena limbah APD yang baru," tuturnya.

Respons Satgas

Jubir Satgas COVID-19, Prof. Wiku Adisasmito, mengaku pihaknya sedang merancang teknologi tepat guna. Sejauh ini, Satgas telah memberikan 5 incinerator kepada 5 provinsi di RI. Satgas juga ikut membantu pengelolaan limbah di beberapa RS besar di DKI Jakarta.

"Saat ini Satgas subbidang limbah sedang berusaha membuat kebijakan serta teknologi tepat guna tentang pengelolaan limbah medis COVID-19 masyarakat yang melibatkan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan Kemenkes," ujar Wiku.

Menurut Wiku, Pemda harus memiliki standar dan lokasi pembuangan sampah medis yang aman bagi masyarakat dan lingkungan. Tujuannya agar tidak menimbulkan masalah kesehatan lainnya.

"KLHK telah mengatur pembuangan limbah medis dalam peraturan menteri LHK tentang tata cara dan persyaratan teknis pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dari fasyankes," tutur Wiku.

Sumber https://m.kumparan.com/kumparannews/ironi-limbah-medis-di-tengah-pandemi-1vCzWrMZF8O/full

Comments