Insentif Nakes Dilanjut, Risiko Defisit Anggaran Makin Lebar

Redaksi


IDNBC.COM
- Pemerintah memastikan insentif tenaga kesehatan (nakes), mulai dari dokter, bidan, perawat, hingga tenaga medis lainnya tidak akan dipangkas. Bahkan, besaran insentif di tengah pandemi covid-19 masih akan sama dengan tahun lalu.


Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menuturkan insentif nakes merupakan bukti pemerintah konsisten mendukung tenaga medis sebagai garda terdepan dalam penanganan covid-19.

Isu pemangkasan insentif tenaga kesehatan sempat jadi polemik setelah beredarnya surat berkop Menteri Keuangan yang diunggah pemilik akun twitter @asaibrahim.

Surat bernomor S-65/MK.02/2021 itu memuat rincian insentif dokter, bidan, perawat, hingga tenaga medis lainnya yang dipangkas 50 persen dibandingkan tahun lalu.

Belakangan, unggahan tersebut dihapus oleh pemilik akun, namun banyak pihak kadung percaya rencana pemangkasan insentif benar bakal terjadi.

Terlebih, sinyal pemangkasan 'uang penghargaan' tenaga medis itu sebelumnya pernah disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.

"Presiden putuskan insentif kesehatan diteruskan di 2021, meski magnitude-nya diturunkan," ucap Ani dalam rapat di Komisi XI DPR RI pekan lalu.

Ia juga menyinggung kebutuhan mendesak untuk bidang kesehatan sebesar Rp14,6 triliun, salah satunya guna pembiayaan insentif tenaga kesehatan. Dana itu dapat berasal dari realokasi dan refocusing anggaran pos kementerian/lembaga lain.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai ruang untuk melakukan realokasi dan refocusing anggaran memang masih terbuka lebar. Karena itu, harusnya jumlah insentif untuk tenaga kesehatan tahun ini bukan hanya dipertahankan, melainkan ditambah.

Salah satu yang bisa direalokasi atau refocusing adalah belanja infrastruktur yang cukup tinggi di tahun ini. "Belanja infrastruktur itu bahkan bisa dipangkas sebagian hanya untuk tenaga medis. Belanja infrastruktur kan lebih dari Rp400 triliun di 2021, harusnya bisa digeser sebagian, katakanlah ke 2022 atau ke 2023," tuturnya.

Jika 30 persen dari total belanja infrastruktur tersebut bisa dialihkan, tutur Bhima, ia yakin penambahan jumlah insentif tenaga kesehatan tidak akan menjadi persoalan. "Bahkan, setelah realokasi sampai30 persen untuk insentif tenaga medis, belanja infrastruktur pun masih cukup," imbuhnya.

Karena itu, Bhima menyarankan pemerintah mengatur ulang rencana proyek-proyek yang masih belum berjalan. Terlebih, kondisi ekonomi saat ini masih melambat dan percepatan pembangunan infrastruktur tak begitu mendesak.

"Butuh fokus untuk belanja kesehatan, tidak hanya sampai 2020. Jadi, infrastruktur yang tidak mendesak, tidak urgent, yang masih dalam perencanaan, belum financial closing itu bisa digeser untuk insentif tenaga medis," jelasnya.

Di samping itu, realokasi dan refocusing juga bisa menyasar belanja pegawai nonprioritas, seperti honorarium, perjalanan dinas, paket meeting, hingga kegiatan tidak mendesak lainnya.

"Ruang belanja pegawai, untuk ASN, juga cukup besar. Ada belanja yang sifatnya tidak mendesak, itu bisa digunakan, dipangkas sebagian untuk ke insentif tenaga medis. Ada juga belanja barang dan operasional yang ruangnya masih cukup besar, termasuk juga perjalanan dinas masih bisa ditekan karena mobilitas masih rendah," imbuhnya.

Terakhir, Bhima menyarankan belanja pembayaran bunga utang pemerintah untuk tahun ini juga bisa menjadi opsi untuk ditekan. Caranya, dengan bernegosiasi atau meminta restrukturisasi utang, baik kepada investor, lembaga multilateral, maupun negara lain yang menjadi kreditur.

"Pemerintah bisa melakukan negosiasi utang kepada kreditur. Sebagian pembayaran bunga utang yang terjadwal bisa digunakan juga untuk insentif tenaga medis, dan masih cukup besar," katanya.

Berbeda dengan Bhima, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah berpandangan pemerintah tidak perlu merealokasi dan refocusing anggaran.

Soalnya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional.

Payung hukum tersebut membolehkan pemerintah untuk memperlebar defisit APBN di atas 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) hingga 2023 untuk pembiayaan penanganan pandemi, termasuk insentif tenaga medis.

Hanya saja, dampaknya adalah lonjakan utang pemerintah seperti terjadi hampir sepanjang tahun lalu. Seperti diketahui, hingga akhir 2020 defisit APBN tercatat mencapai 6,09 persen dari PDB atau Rp956,3 triliun.

Sementara, pembiayaan utang baru pemerintah mencapai Rp1.226,8 triliun, naik hampir tiga kali lipat atau 180,4 persen dari 2019 yang hanya Rp 437,5 triliun.

"Memang, konsekuensinya defisit APBN meningkat. Sekarang terpulang kepada masyarakat. Kalau kita mengharapkan berbagai bantuan ditingkatkan, pembangunan infrastruktur juga tetap berjalan, kita tidak terlalu nyinyir atas peningkatan defisit atau juga kenaikan utang pemerintah," terang Piter.

Terkait dengan belanja bunga utang pemerintah yang cukup besar tahun ini, ia menegaskan hal itu tidak bisa dipangkas atau direalokasi untuk menambah pembiayaan insentif tenaga kesehatan.

Sebab, pembayaran bunga utang adalah kewajiban dan jika tak dibayarkan atau direstrukturisasi akan berimbas pada menurunnya kepercayaan kreditur hingga investor.

"Bunga utang tidak bisa dipangkas. Itu adalah kewajiban yang harus dibayar," pungkasnya.

Sumber https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20210205072245-532-602550/insentif-nakes-dilanjut-risiko-defisit-anggaran-makin-lebar

Comments