Bagaimana Manuver Memperpanjang Masa Jabatan Presiden

Redaksi


IDNBC.COM -
BERTANDANG ke Istana Bogor, Jawa Barat, pada Jumat, 13 Agustus lalu, Jazilul Fawaid mengingatkan Presiden Joko Widodo alias Jokowisoal penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024 di tengah wabah Covid-19Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan tersebut menyatakan perlu antisipasi jika pandemi tak mereda hingga hari pencoblosan.


“Tak boleh ada kekosongan kekuasaan, perlu dipikirkan strategi dan antisipasi ketatanegaraan jika pandemi belum membaik,” kata Jazilul menceritakan isi pertemuan pimpinan MPR dengan Presiden kepada Tempo, Jumat, 20 Agustus lalu.

Sesaat sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo menyinggung progres pembahasan amendemen konstitusi. Salah satu agendanya: menghidupkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara—dulu disebut Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu menyebutkan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 merupakan rekomendasi MPR periode 2014-2019.

Dalam pertemuan itu, Wakil Ketua MPR dari Partai Demokrat, Sjarifuddin Hasan, justru mengingatkan bahwa Jokowi pernah menolak amendemen Undang-Undang Dasar 1945, dua tahun lalu. “Saya bertanya, ‘Sikap Bapak Presiden seperti apa?’,” ujar Sjarifuddin menceritakan ucapannya kepada Jokowi.

Derasnya pertanyaan kepada Jokowi mengenai amendemen konstitusi membuat Bambang bersikap. Ia disebut menyarankan Kepala Negara cukup merespons topik perubahan UUD 1945 secara umum. Jazilul dan Sjarifuddin membenarkan adanya peristiwa itu. Keduanya menyatakan Bambang berupaya menjaga diskusi tak melebar.

Menurut Sjarifuddin, Jokowi menyebutkan bahwa amendemen merupakan ranah MPR dan para ketua umum partai politik. Jokowi juga sempat melontarkan kekhawatiran pembahasan amendemen bakal merembet ke topik lain di luar Pokok-Pokok Haluan Negara. Salah satunya soal perpanjangan masa jabatan presiden.

Dalam peringatan hari konstitusi dan ulang tahun MPR pada 18 Agustus lalu, Bambang Soesatyo mengklaim pembahasan amendemen tak akan melebar. Sebab, Pasal 37 ayat 2 UUD 1945 mengatur usul perubahan pasal harus diajukan secara tertulis beserta alasan untuk merevisinya. “Amendemen terbatas tak akan mengarah ke hal lain di luar Pokok-Pokok Haluan Negara,” kata Bambang.

Pembahasan mengenai amendemen konstitusi di Istana Bogor mengapungkan kembali rencana perubahan masa jabatan presiden. Meskipun Jokowi beberapa kali menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden, skenario mengubah ketentuan itu disebut-sebut masih terus berjalan.

Dua politikus yang mengetahui skenario tersebut bercerita, ada sejumlah rancangan yang disiapkan untuk mengegolkan perpanjangan masa jabatan. Antara lain, Pokok-Pokok Haluan Negara akan dimasukkan ke ketetapan MPR. Adapun amendemen UUD 1945 bakal menambah kewenangan MPR untuk menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara dan meminta presiden menjalankannya selama minimal dua tahun terhitung setelah 2024. Dengan begitu, masa jabatan presiden juga akan diperpanjang.

Presiden Joko Widodo menghadiri sidang tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 16 Agustus 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Narasumber yang sama mengatakan, Istana juga menggalang dukungan ke sejumlah pihak, seperti pakar hukum tata negara dan organisasi kemasyarakatan. Para ahli hukum tata negara diminta menyiapkan kajian mengenai masa jabatan presiden. Organisasi kemasyarakatan, khususnya di bidang kepemudaan dan himpunan alumnus mahasiswa, turut didekati karena masih ada pro-kontra di tengah kelompok tersebut.

Dua politikus itu menyebutkan, salah satu motor perpanjangan masa jabatan presiden adalah Bambang Soesatyo. Menurut keduanya, Bambang menugasi bekas Sekretaris Jenderal Golkar, Idrus Marham, menggalang dukungan ke kelompok pemuda. Mantan Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) ini dianggap memiliki jaringan ke kelompok pemuda. Idrus tak membalas permintaan wawancara dan tak merespons panggilan telepon Tempo.

Skenario lain yang disiapkan adalah mencari dukungan dari para politikus Senayan. Strategi ini membuka peluang memperpanjang masa jabatan presiden selama maksimal tiga tahun disertai dengan penambahan masa bakti anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Adapun periode kepemimpinan kepala daerah tak terpengaruh. Jika rencana penundaan pemilu berjalan mulus, pada 2024 hanya akan ada pemilihan kepala daerah.

Juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, membantah jika Jokowi disebut tak menaati UUD 1945, termasuk aturan mengenai masa jabatan presiden. "Isu tiga periode dan perpanjangan periode jabatan presiden tak sesuai dengan konstitusi," ucap Fadjroel.

Jokowi juga beberapa kali menolak wacana presiden tiga periode. Ia berdalih pihak yang melempar gagasan tersebut hendak menampar, mencari muka, dan menjerumuskannya. “Saya tak ada niat dan tak berminat menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanatkan dua periode dan itu harus kita jaga,” ujar Jokowi pada pertengahan Maret lalu.

Kepada Tempo, Bambang Soesatyo membantah jika perubahan konstitusi disebut akan menyentuh masa jabatan kepala negara. Ia menyatakan amendemen terbatas hanya untuk menambah kewenangan MPR agar dapat menetapkan haluan negara. Bambang juga menyangkal menjadi motor perpanjangan masa jabatan presiden. Menurut dia, saat bertemu dengan pimpinan MPR, Jokowi tegas menyatakan menolak perubahan masa jabatan baik berupa perpanjangan maupun maksimal tiga periode. “Tidak ada skenario lain,” kata Bambang.

Ketua Fraksi Demokrat di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Benny Kabur Harman, mengatakan tim kajian MPR belum memutuskan bentuk hukum dari Pokok-Pokok Haluan Negara. Menurut Benny, ada tiga opsi terkait dengan posisi hukum haluan negara. Pertama, membuat undang-undang sebagaimana beleid rencana pembangunan jangka menengah nasional. Kedua, memasukkannya ke ketetapan MPR. Terakhir, mengamendemen konstitusi.

Benny menilai pilihan amendemen berisiko karena rawan melebar ke pasal-pasal lain, terutama masa jabatan kepala negara. Kegelisahan serupa disampaikan Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani. Menilai haluan negara perlu untuk menjaga kesinambungan program pembangunan, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra itu menilai amendemen berpotensi merembet ke persoalan lain.

Wakil Ketua MPR dari Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menyatakan perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilihan umum inkonstitusional. Agenda itu pun tak serta-merta bisa diselundupkan di tengah pembahasan amendemen UUD 1945. Usul perubahan pasal harus diajukan oleh sepertiga anggota MPR dalam format tertulis. “Wacana penundaan pemilu itu dimunculkan hingga menjadi ramai ketika pembahasan amendemen UUD 1945. Padahal penundaan pemilu itu melanggar konstitusi jika tak ada amendemen," ujar Arsul.

Sumber https://majalah.tempo.co/amp/laporan-utama/163947/bagaimana-manuver-memperpanjang-masa-jabatan-presiden

Comments