Dokter Lois Sesumbar Tak Percaya Covid-19, IDI: Keanggotaannya Sudah Lama Kedaluwarsa
IDNBC.COM - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tegaskan dokter Lois Owien sudah tidak terdaftar dalam keanggotaan IDI. Nama dokter Lois belakangan jadi perbincangan gara-gara unggahannya yang tidak percaya Covid-19.
Dalam sebuah acara talkshow, dokter Lois juga meyakini pasien-pasien yang meninggal dunia di rumah sakit bukanlah disebabkan karena virus corona, melainkan karean adanya interaksi obat yang berlebihan.
Dia menyebut bahwa obat-obatan yang digunakan untuk pasien Covid-19 telah menimbulkan komplikasi di dalam tubuh.
Terkait hal ini, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memanggil dokter Lois. Namun, dalam penelusuran awal, PB IDI menyatakan keanggotaan dokter Lois sudah lama kedaluwarsa di IDI.
"Keanggotaannya sudah lama kedaluwarsa," ujar Daeng kepada Kompas.com, Minggu (11/7/2021).
Selain itu, dikutip dari akun Instagram pribadi dr Tirta Mandira Hudhi menyebut bahwa dr Lois tidak terdaftar sebagai anggota IDI.
Di mana, seperti diketahui semua dokter di Indonesia harus tergabung dan terdaftar sebagai anggota IDI.
"Ya memang benar, ibu Lois ini telah mengontak saya. Dan memang menyebarkan info-info yang menurut saya tidak masuk akal. Ibu Lois ini mengaku sebagai dokter. Setelah dikonfirmasi ke Ketua IDI Pusat dan Ketua MKEK. Beliau mengatakan bahwa dokter Lois tidak terdaftar di anggota IDI," ujar Tirta.
Tirta juga mengatakan bahwa surat tanda registrasi (STR) milik dr Lois sudah tidak aktif sejak 2017.
"Status dokternya dipertanyakan. STR beliau tidak aktif sejak 2017," ujar Tirta.
Seperti diketahui, surat tanda registrasi (STR) merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan.
Penjelasan ahli
Apakah benar interaksi obat, seperti disampaikan dr Lois, dapat menyebabkan kematian pada pasien Covid-19?
Hal ini dijelaskan oleh Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, saat dihubungi Kompas.com, Minggu (11/7/2021).
Prof Zullies menjelaskan bahwa interaksi obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain, ketika digunakan bersama-sama pada seorang pasien.
"Interaksi obat itu memang sangat mungkin dijumpai. Bahkan, orang dengan satu penyakit saja, rata-rata ada yang membutuhkan lebih dari satu macam obat," kata Prof Zullies.
Terkait pernyataan dr Lois yang menyebut interaksi obat menjadi penyebab kematian pasien Covid-19, Prof Zullies menekankan bahwa tidak semua interaksi obat itu berbahaya atau merugikan.
Karena sifat interaksi itu bisa bersifat sinergis atau antagonis, bisa meningkatkan, atau mengurangi efek obat lain.
"Interaksi obat juga ada yang menguntungkan, dan ada yang merugikan. Jadi tidak bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual," ucap Prof Zullies.
Pada pasien dengan hipertensi, misalnya.
Meski merupakan satu jenis penyakit, namun terkadang membutuhkan lebih dari satu obat, apabila satu obat tidak dapat memberi efek kontrol pada penyakit tersebut. Seringkali penderita hipertensi menerima dua atau tiga jenis obat anti hipertensi.
"Artinya, ini ada interaksi obat yang terjadi, tetapi yang terjadi itu adalah interaksi obat yang menguntungkan. Tapi tentu, pilihan obat yang akan dikombinasikan juga ada dasarnya, paling tidak mekanismenya mungkin berbeda," papar Prof Zullies.
Kendati demikian, Prof Zullies mengatakan bahwa ketika tambahan obat yang diberikan semakin banyak, maka masing-masing akan memiliki risiko efek samping obat.
Sehingga, hal ini pun akan selalu menjadi pertimbangan dokter dalam meresepkan obat pada pasiennya. Artinya, bahwa dengan semakin banyak obat, maka akan semakin meningkat juga risiko efek sampingnya.
Kapan interaksi obat bisa merugikan?
Lebih lanjut, Prof Zullies mengatakan interaksi obat dapat merugikan apabila suatu obat menyebabkan obat lain tidak berefek saat digunakan bersama, atau memiliki efek samping yang sama.
Seperti obat hidroksiklorokuin yang sempat diajukan sebagai terapi pengobatan pasien Covid-19.
Efek samping obat ini dapat memengaruhi ritme jantung, jika digunakan dan dikombinasikan dengan obat yang juga sama-sama memiliki efek serupa, maka itu akan merugikan.
"Ada juga obat yang memberi interaksi dengan meningkatkan efek dari obat lain. Itu bagus, tetapi kalau peningkatan efeknya berlebihan, maka itu akan berbahaya," imbuh Prof Zullies.
Demikian juga obat untuk pasien Covid-19. Pada pasien Covid-19 dengan sakit ringan, biasanya akan diberikan obat antivirus, vitamin atau obat anti gejala.
"Akan tetapi, interaksi obat-obat ini bisa dihindari dengan mengatur cara penggunaan, misal diminum pagi dan sore, atau mengurangi dosis. Masing-masing interaksi obat itu ada mekanismenya sendiri-sendiri," jelas Prof Zullies.
Sumber https://megapolitan.kompas.com/read/2021/07/11/18403551/dokter-lois-sesumbar-tak-percaya-covid-19-idi-keanggotaannya-sudah-lama