Warga Hina Gibran Ditangkap, SAFEnet Sebut Komentar Sinisme Bukan Hoaks

Redaksi


IDNBC.COM
- Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto mempertanyakan penentuan kategori hoaks oleh tim virtual police atau polisi virtual.


Hal tersebut menyusul penangkapan seorang warga Slawi berinisial AM oleh tim virtual police Polresta Surakarta lantaran dianggap menulis komentar bermuatan hoaks terkait Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.

Padahal, menurut Damar, komentar AM tidak termasuk hoaks atau berita bohong melainkan olok-olok. Karena itu dia mempersoalkan dasar penilaian tim virtual police.

"Yang susah dari virtual police itu kan dasar penilaiannya. Kalau dalam kebanyakan kasus, 89 tentang ujaran kebencian. Kalau yang di Slawi ini kan tentang hoaks. Ini dasarnya apa?" ucap Damar kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/3).

"Kalau dilihat dari postingannya ini lebih ke olok-olok/sinisme tentang kapasitas Gibran sebagai Wali Kota Solo dalam mengurusi sepak bola, karena kan AM ini kan lebih banyak menyoroti permintaan Gibran agar semifinal dan final digelar di Solo," lanjut dia.

Tak hanya itu, Damar juga menyinggung pelibatan ahli bahasa dalam menentukan kategori hoaks idealnya harus dari kedua belah pihak. Dengan begitu, pihak tertuduh memiliki kesempatan yang setara untuk membela diri dan menjelaskan maksud unggahan.

"Kalau virtual police sudah pakai ahli bahasa, masalahnya ahli bahasa juga kan ada kapasitas dan penilaian yang berbeda. Kalau ada kesempatan misalnya, bagi orang yang melakukan postingan menghadirkan ahli bahasa lain yang bisa mengatakan bahwa tidak ada unsur hoaks," tambah dia.

Damar mengatakan, penindakan di Slawi menunjukkan kekhawatiran akan keberadaan virtual police benar adanya. "Kalau kemarin saja kita sudah mengkritik dengan, sudah membuat orang banyak ketakutan baru, apalagi seperti ini dengan penangkapan," kata dia.

Alih-alih berfungsi sebagai mediator, Damar menilai berdasarkan kasus AM, tindakan tim virtual police justru memberikan tekanan ke warga.

"Restorative justice itu kan mengedepankan mediasi. Berarti antara dia dengan Gibran atau pihak-pihak yang disebutkan polisi, KPU, Bawaslu, Masyarakat Solo. Kalau polisi kan menjadi mediator harusnya dalam posisi netral jadi mendamaikan dua pihak," terang dia.

"Kalau di sini kan polisi justru dalam posisi penekan dan penekanannya upaya untuk menghapus dan mengoreksi untuk minta maaf," tandas dia lagi.

Dia pun mengkritik ketiadaan unsur mediasi dalam perkara tersebut. Padahal alur kerja virtual police seharusnya mengedepankan upaya mediasi.

"Restorative justice kan itu ketika pidana dilakukan sebagai upaya akhir. Kalau di sini agak membingungkan, karena justru yang kelihatan ada upaya pemidanaan meskipun enggak masuk persidangan," tuturnya.

Kasus penangkapan AM, menurut Damar jadi salah satu contoh buruknya kerja virtual police dan kekeliruan penegakan restorative justice. "Kalau dari kacamata SAFEnet melihat ini kan bukan proses mediasi namanya, bahkan ini bisa dikatakan proses sensor. Sesuatu yang memang sudah dikhawatirkan dengan virtual police ini," sambung dia.

Penangkapan warga Slawi berinisial AM bermula dari unggahannya di media sosial terkait Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.

"Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja," demikian tulis AM di akun pribadinya @arkham_87 pada Sabtu (13/3) pukul 18.00 WIB.

Kapolresta Kota Solo, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak mengatakan komentar AM dianggap mengandung unsur hoaks karena menyebut Gibran mendapat jabatan dari bapaknya, Presiden Joko Widodo. Kata dia, komentar itu tidak benar sebab Gibran menjabat Wali Kota Solo lantaran memenangi Pilkada 2020.

Sumber https://www.harianaceh.co.id/2021/03/16/warga-hina-gibran-ditangkap-safenet-sebut-komentar-sinisme-bukan-hoaks/

Comments