Donald Trump 'tak akan pernah mau mengaku kalah dan mungkin harus dipaksa keluar dari Gedung Putih'

Admin


IDNBC.COM
- Donald Trump diyakini tidak akan mengaku telah kalah di pemilihan presiden dan pada akhirnya mungkin harus dipaksa keluar dari Gedung Putih.


Keyakinan ini disampaikan oleh penulis buku Trump, The Art of the Deal, Tony Schwartz, dalam wawancara dengan BBC World News.


"Dia tak akan mengaku kalah karena baginya menerima kekalahan adalah kegagalan dan ini adalah sesuatu yang tak bisa ia terima," ujar Schwartz told BBC World News.


Oleh karena itu, kata Schwartz, Trump "tidak akan menghadiri pelantikan Joe Biden" sebagai presiden pada 20 Januari mendatang.


Dalam konteks ini pula, Trump berulang kali mengeklaim bahwa pemilihan presiden kali ini "diwarnai kecurangan", kata Schwartz.


"Bahwa pemilu tahun ini berjalan buruk, bahwa ia dicurangi ... khayalan ini terus ia lontarkan untuk menutupi kenyataan [bahwa pemilu dimenangkan oleh Biden]," kata Schwartz.


Schwartz adalah ghost-writer (seseorang yang disewa untuk menulis buku dan namanya tidak dicantumkan) buku Trump, The Art of the Deal, yang terbit pada 1987.


Ketika itu Trump dikenal sebagai pengusaha real estat. "Tentunya ketika itu saya tak membayangkan sama sekali bahwa ia akan mencalonkan diri sebagai presiden dan terpilih," kata Schwartz.


Yang juga ia pahami dari interaksi dengan Trump adalah baginya Trump "bukan tipe orang yang berempati, bukan tipe orang yang punya kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan yang universal".


'Sifatnya makin buruk'



Schwartz mengatakan Trump tak berubah dari sosok yang ia kenal puluhan tahun lalu.


Yang sedikit berbeda, dalam kehidupan pribadinya, Trump "lebih pemarah, karena mengira tak ada orang yang tahu".


"Ia pernah mengatakan ia seperti bocah berusia tujuh tahun, [seperti itulah Trump], dan perangainya makin buruk seiring dengan bertambahnya usia," kata Schwartz.


Jika demikian sifat Trump, mengapa ia bisa sampai terpilih sebagai presiden Amerika pada 2016 dan meraih setidaknya 72 juta suara dalam pilpres kali ini?


Schwartz menganalisis ini mungkin cermin keputusasaan yang dialami oleh jutaan rakyat Amerika dewasa ini.


"Bahwa kenyataan dan situasi yang mereka hadapi tidak sesuai dengan harapan mereka ... dan mereka mengira Trump memahami situasi ini dan membantu mereka," kata Schwartz.


Padahal yang terjadi, kata Schwartz, orang-orang yang memilih Trump adalah orang-orang yang dibenci oleh Trump.


"Bagi Trump, mereka ini (para pendukungnya) adalah pecundang, memang ia tak menyampaikannya secara terbuka. Tapi bagi Trump, orang-orang yang menghadapi kesulitan hidup ini adalah para pecundang," kata Schwartz.


Trump dan para politisi senior Partai Republik sejauh ini belum menerima kemenangan Biden.


Ada dua alasan yang mereka ajukan: pemilu belum usai dan bahwa telah terjadi "kecurangan". Namun Trump tidak mengajukan bukti atas klaim tersebut.


Trump mengatakan sekitar 2,7 juta suara untuk dirinya "dihapus".


Namun para pejabat senior AS yang bertanggung jawab menggelar pemilu menegaskan pilpres 2020 adalah yang paling bersih dalam sejarah Amerika.


Para pejabat senior ini mengatakan "Tidak ada bukti bahwa ada sistem pemilihan yang dihapus atau ada suara yang hilang, suara yang diubah".


Dikatakan pula tidak ada bukti yang mengarah pada pemilu yang "direkayasa sedemikian rupa".


Sumber https://www.bbc.com/indonesia/dunia-54932865


Comments