Babak Baru Kejanggalan UU Cipta Kerja: Pesanan Revisi dari Istana

Admin


IDNBC.COM
- Drama UU Cipta Kerja masih terus berlanjut dan memasuki babak baru. Draf yang tak bisa diakses publik hingga saat ini, kendati sudah disahkan pada 5 Oktober lalu, masih saja mengalami revisi.


Babak baru drama ditandai dengan pernyataan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PKS, Mulyanto, yang mengatakan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) mengusulkan revisi draf UU. Draf yang dimaksud adalah yang diserahkan oleh Sekretaris Jenderal DPR ke Istana pada 14 Oktober lalu, jumlah halamannya 812. 


“Ada usulan revisi atas draf yang sudah dikirim ke Presiden,” kata Mulyanto kepada wartawan Tirto, Rabu (21/10/2020).


Mulyanto mengatakan usulan revisi sebanyak 158 item dalam 88 halaman. Setneg mengajukan revisi berselang dua hari setelah dokumen final diterima, yaitu 16 Oktober.


Mulyanto memperlihatkan foto tangkapan layar salah satu halaman yang direvisi, yaitu pada pasal 65 ayat (3) yang berbunyi, “Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) terdiri atas orang perseorangan dan pelaku usaha.” Isi revisi berupa penambahan diksi 'ayat' sebelum angka dua dalam kurung di dalam pasal tersebut menjadi berbunyi, “Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas orang perseorangan dan pelaku usaha.”


“Revisi tersebut dianggap bersifat redaksional dan salah ketik,” kata Mulyanto.


Sebagai anggota Baleg, Mulyano mengaku tak dilibatkan sehingga tak tahu pihak mana yang saat ini menangani revisi draf UU Cipta Kerja usulan Setneg. Sebagai anggota biasa, yang ia tahu, saat ini Panja RUU Cipta Kerja sudah bubar dan tak mungkin membahasnya lagi.


“Tampaknya dibahas di tingkat pimpinan Baleg,” kata Mulyanto.


Bukan kali ini saja UU Cipta Kerja direvisi setelah disahkan. Pada 8 Oktober, Fraksi Partai Golkar dan PKS gamblang menyebut draf UU itu masih direvisi. Maka tak heran pula publik tak tahu mana naskah yang asli. Sepanjang satu pekan setelah disahkan, muncul beragam versi UU Cipta Kerja dengan jumlah yang berbeda-beda: versi 905 halaman yang beredar pada 5 Oktober, 1.052 halaman pada 9 Oktober, 1.035 halaman pada 12 Oktober pagi, bahkan 812 halaman pada malam harinya.


Pada 13 Oktober, Wakil Ketua DPR RI Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin menyebut versi 812 halaman adalah draf yang final—itu pun tanpa penjelasan di mana publik bisa mengakses draf itu. 


Produk Siluman dan Terburuk


Belum selesai perkara Kemensetneg yang meminta draf UU Cipta Kerja direvisi, muncul lagi kejanggalan dari produk hukum kontroversial itu: lagi-lagi mengenai perbedaan halaman. 


Pada Minggu (18/10/2020) akhir pekan lalu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyambangi rumah Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi untuk memberikan draf UU Cipta Kerja. Draf yang diberikan ke MUI jumlah halamannya berbeda dengan yang diberikan DPR RI ke Setneg. Jika draf UU Cipta Kerja yang diberikan DPR RI ke Setneg setebal 812 halaman, yang diterima MUI lebih dari itu.


“Softcopy 1.187 halaman dan hardcopy 1.058 halaman,” kata Muhyiddin saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Kamis (22/10/2020) sore. 


Ia juga mengaku dilarang menyebarluaskan draf yang diterima ke wartawan. “Dilarang oleh Setneg,” tambahnya.


Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, pun mengatakan hal serupa. Kepada wartawan Tirto, ia mengaku bahwa draf yang diterima oleh pihaknya sebanyak 1.187 halaman.


Atas dasar itu semua, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai sangat masuk akal jika publik curiga terhadap peraturan ini. Lucius mengatakan manuver-manuver DPR RI dan pemerintah memperlakukan UU Cipta Kerja semakin menunjukkan bahwa produk hukum tersebut memang hanya untuk segelintir elite.


“Ini seperti undang-undang siluman. Seolah-olah, ini seperti rahasia yang jika terbongkar akan menghancurkan bangsa,” kata Lucius saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis sore.


Oleh karena itu ironis jika pemerintah mencoba klarifikasi, meminta publik mengajukan gugatan ke MK alih-alih demonstrasi, hingga mengkriminalisasi para pengkritik selama kurang lebih dua pekan tapi publik tak bisa mendapatkan akses ke draf resmi.


Sejauh pantauan Formappi yang sudah mengawasi legislatif selama belasan tahun, belum pernah ada UU yang begitu berdampak luas ke masyarakat yang proses pembuatannya buruk sebagaimana Cipta Kerja.


“Ketertutupan pembahasan UU, mungkin banyak contohnya, namun yang paling lama drafnya bisa diakses publik setelah disahkan, ya UU Cipta Kerja,” katanya. “Sekontroversial apa pun RUU itu, pada saat paripurna pengesahan bisa diakses publik.”


Sementara pengajar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai bahwa UU Cipta Kerja adalah produk hukum Indonesia yang paling konyol. Semua semakin ironis karena Presiden sendiri sudah menyebut produk hukum ini sebagai “undang-undang” dan meminta publik untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 9 Oktober lalu.


“Lalu bagaimana caranya publik bisa membuktikan? Jadi kalau dikatakan publik termakan hoaks, pemberi hoaksnya adalah negara,” katanya saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis sore.


Pratikno menjelaskan substansi Cipta Kerja dalam format yang disiapkan Kemensetneg (1.187 halaman) sama dengan naskah Cipta Kerja yang disampaikan oleh DPR kepada Presiden. Menurutnya, keliru belaka mengukur kesamaan dokumen dengan menggunakan indikator jumlah halaman.


“Sebab, naskah yang sama, yang diformat pada ukuran kertas yang berbeda, dengan margin yang berbeda dan font yang berbeda, akan menghasilkan jumlah halaman yang berbeda. Setiap naskah UU yang akan ditandatangani Presiden dilakukan dalam format kertas Presiden dengan ukuran yang baku,” katanya lewat keterangan resmi, Kamis (22/10/2020).


Comments